Jumat, 22 Mei 2015

TEORI-TEORI BELAJAR



A.    Teori Classical Conditioning
Teori ini dikembangkan oleh Ivan Pavlov. Pavlov dan kawan-kawan mempelajari proses pencernaan dalam anjing. Selama penelitian mereka, para ahli ini memperhatikan perubahan dalam waktu dan kecepatan pengeluaran air liur. Dalam eksperimen ini Pavlov dan kawan-kawannya menunjukkan bagaimana belajar dapat mempengaruhi perilaku yang selama ini disangka refleksif dan tidak dapat dikendalikan seperti pengeluaran air liur.
Pentingnya studi yang dilakukan oleh Pavlov terletak pada metode yang digunakannnya serta hasil-hasil yang diperolehnya (Salvin, 1988). Alat-alat yang digunakan dalam berbagai eksperimen memperlihatkan bagaimana Pavlov dan kawan-kawannya dapat mengamati secara teliti dan mengukur respons subjek-subjek dalam eksperimen-eksperimen itu. Penekanan yang diberikan Pavlov pada observasi dan pengukuran yang teliti dan eksplorasinya secara sistematis tentang berbagai aspek belajar menolong kemajuan studi ilmiah tentang belajar. Akan tetapi, hanya sedikit penemuan Pavlov yang diterapkan pada belajar di sekolah.
Ada beberapa kelemahan dalam teori Classical Conditioning diantaranya :
1.      Sistem pembelajaran bersifat mekanis.
2.      Menjadikan pengajar sebagai sumber pembelajarannya.
3.      Siswa menjadi pasif.
4.      Hanya disampaikan dalam bentuk materi.
5.      Percobaan dalam laboratorium, berbeda dengan keadaan yang sebenarnya.
6.      Pribadi seseorang dapat mempengaruhi hasil belajar.
7.      Respon mungkin dipengaruhi oleh stimulus yang tak dikenal.
8.      Teori ini sangat sederhana dan tidak dapat menjelaskan secara jelas proses belajar yang komplek dan tidak dapat diamati dalam satu perspektif saja.
Dari beberapa kelemahan di atas, terdapat pula kelebihan dalam teori Classical Conditioning diantaranya :
1.      Mementingkan pengaruh lingkungan, bagian-bagian, peranan reaksi, mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar.
2.      Mementingkan pembentukan kebiasaan dalam pemecahan masalah.
3.      Memberi pengaruh siswa dalam belajar, karena pendidik memberi stimulus sedangkan siswa akan lebih termotivasi dalam mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya.
4.      Terdapat stimulus tertentu yang mampu menggugah semangat siswa yang semula rendah.
5.      Jika siswa sudah terbiasa melakukan perbuatan yang telah terkondisikan dengan ilmunya secara kontinyu maka ia dapat dikatakan berhasil dalam belajarnya.
6.      Memberikan ciri perubahan dalam belajar, jika ada suatu tanda signal.
Dari teori belajar di atas, menurut pendapat saya mengimplementasikan teori belajar tersebut dalam pendidikan di Indonesia. Ketika kita menginginkan anak-anak belajar, maka kita harus memberikan rangsangan kepada mereka. Ada dua jenis rangsangan dalam konteks ini, yaitu rangsangan yang langsung membuat siswa memberikan respon dan rangsangan yang tidak membuat siswa memberikan respon. Kita sebut saja rangsangan yang menimbulkan respon langsung adalah nilai, dan rangsangan yang tidak menimbulkan respon adalah materi pelajaran.
Pada dasarnya setiap siswa merasa senang apabila mendapatkan nilai yang baik, tetapi mereka tidak terpengaruh oleh materi pelajaran. Materi pelajaran sendiri bersifat netral (tidak berpengaruh) pada diri siswa. Yang membuat siswa terpengaruh adalah nilai yang baik dari guru. Oleh karena itu, agar siswa memberikan respon pada materi pelajaran (mau mempelajari materi pelajaran), maka harus diberikan rangsangan lain yaitu nilai yang baik. Dengan kata lain, siswa diberi nilai baik setelah mempelajari materi pelajaran. dan ini harus dilakukan secara berulang-ulang. Agar terjadi perubahan yang relatif permanen pada diri siswa, maka kegiatan (sebagai bentuk pengalaman) harus dilakukan secara berulang-ulang.
  
B.     Teori Koneksionisme
Teori ini dikemukakan oleh Edward. L. Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Dari pengertian ini, wujud dari tingkah laku tersebut bisa saja dapat diamati ataupun tidak dapat diamati. Menurut Thorndike, belajar dapat dilakukan dengan mencoba-coba (trial and error). Mencoba-coba dilakukan bila seseorang tidak tahu bagaimana harus memberikan respons atas sesuatu, kemungkinan akan ditemukan respons yang tepat berkaitan dengan masalah yang dihadapinya.
Thorndike mengembangkan hukumnya yang dikenal dengan Hukum Pengaruh (Law of Effect). Hukum Pengaruh Thorndike mengemukakan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip akan meningkat. Akan tetapi, bila suatu perilaku diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan perilaku itu diulangi akan menurun. Jadi, konsekuensi perilaku seseorang pada suatu waktu memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang itu selanjutnya.
Kelemahan Teori Thorndike dalam Pembelajaran
  1. Sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon
  2. Teori ini tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya

Kelebihan Teori Thorndike dalam Pembelajaran
  1. Teori ini mengarahkan anak untuk berfikir linier dan konvergen. Belajar merupakan proses pembentukan yaitu membawa anak menuju atau mencapai target tertentu
  2. Membantu  guru dalam menyelesaikan indikator pembelajaran
Implementasi teori koneksionisme dalam pendidikan di indonesia
1.      Memperhatikan situasi murid
2.      Menentukan respons yang diharapkan dari situasi tersebut
3.      Sengaja menciptakan hubungan antara respons murid dan stimulusnya
4.      Ciptakan hubungan yang menciptakan hubungan nyata
5.      Upayakan suasana belajar yang memungkinkan anak menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

C.    Teori Operant Conditioning
Teori ini dikembangkan oleh B.F. Skinner. Menurutnya, suatu respons sesungguhnya juga menghasilkan sejumlah konsekuensi yang nantinya akan mempengaruhi tingkah laku manusia. Untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas menurut Skinner perlu memahami hubungan antara satu stimulus dengan stimulus lainnya, memahami respons itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respons tersebut (Bell-Gredler, 1986). Skinner juga mengemukakan bahwa menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi bertambah rumit, sebab alat itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Dari hasil percobaannya, Skinner membedakan respons menjadi 2 yaitu : respons yang timbul dari stimulus tertentu, dan “operant (instrumental) respons”, yang timbul dan berkembang karena diikuti oleh perangsang tertentu.
Kelemahan
Tanpa adanya sistem hukuman akan dimungkinkan akan dapat membuat anak didik menjadi kurang mengerti tentang sebuah kedisiplinan. Hal tersebut akan menyulitkan lancarnya kegiatan belajar-mengajar. Dengan melaksanakan Mastery Learning (siswa mempelajari materi secara tuntas menurut waktunya masing-masing, karena setiap siswa berbeda-beda iramanya), tugas guru akan menjadi semakin berat.
Kelebihan
Pada teori ini, pendidikan diarahkan untuk menghargai setiap anak didiknya. Hal ini ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem hukuman. Hal tersebut didukung dengan adanya pembentukan lingkungan yang baik sehingga dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya kesalahan.
Implementasi
Implementasi teori Operant conditioining di dalam pendidikan di Indonesia. Guru dapat memperkuat perilaku peserta didik yang sesuai dan memberikan hukuman pada perilaku yang tidak sesuai, dan mereka dapat menggunakan teknik. Generalisasi dan diskriminasi untuk membelajarkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan situasi tertentu. Didalam kelas, guru memperkuat kemampuan akademik yang bagus dengan sedikit hadiah atau hak-hak tertentu. Guru menggunakan hadiah untuk memperbaiki kehadiran peserta didik dan dapat meningkatkan semangat belajarnya.

D.    Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial dikembangkan oleh Albert Bandura (1969). Teori ini menerima sebagian besar prinsip teori balajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada efek-efek isyarat pada perilaku dan proses mental internal. Jadi, dalam teori belajar sosial kita akan menggunakan penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan kognitif internal untuk memahami kegiatan kita belajar dari orang lain. Melalui observasi tentang dunia sosial kita, melalui interpretasi kognitif dari dunia itu, banyak sekali informasi dan penampilan keahlian yang kompleks dapat dipelajari.
Dalam pandangan belajar sosial, “manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak “dipukul” oleh stimulus-stimulus lingkungan. Namun, fungsi psikologi diterangkan sebagai interaksi yang kontinu dan timbal balik dari determinan pribadi dan determinan lingkungan” (Bandura, 1977: 11-12).
Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang tidak random; lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya.
Kelemahan
       Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam mendalami sesuatu yang ditiru. Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya melalui peniruan ( modeling ), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negative , termasuk perlakuan yang tidak diterima dalam masyarakat.
       Kelebihan
Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya , karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata – mata reflex atas stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri. Pendekatan teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya conditioning ( pembiasan merespon ) dan imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar social menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak – anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak – anak, faktor social dan kognitif.
Implementasi dalam pendidikan di Indonesia
Seorang guru harus dapat menghadirkan model pembelajaran yang baik. Model yang baik harus dapat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar sehingga dapat memberi perhatian kepada si pembelajar. Model disini tidak harus dari guru, namun tergantung apa yang akan diajarkan. Teori belajar sosial ini cocok untuk mengajarkan materi yang berupa aspek psikomotorik dan afektif, karena pembelajar langsung dapat memperhatikan, mengingat, dan meniru dari model yang dihadirkan.

E.     Teori Belajar Penemuan
Teori ini dikemukakan oleh Jerome Bruner (1960). Teori ini menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Siswa dibimbing secara indiktif untuk mengetahui kebenaran umum. Misalnya, untuk pertama kali memahami konsep “kedisiplinan”, siswa tidak harus menghafal definisi kata tersebut, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang perilaku yang menunjukkan kedisiplinan dan yang tidak, dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata kedisiplinan. Kebalikan dari pendekatan ini disebut “belajar ekspositori” (belajar dengan cara menjelaskan). Siswa diberikan suatu informasi umum dan diminta untuk mencari contoh-contoh khusus dan konkret yang dapat menggambarkan makna dari informasi tersebut, proses belajar ini berjalan secara deduktif.
Kelebihan dari Teori Belajar Penemuan (Free Dicovery Learning) adalah :
1.      Belajar penemuan dapat digunakan untuk menguji apakah belajar sudah bermakna.
2.      Pengetahuan yang diperoleh si belajar akan tertinggal lama dan mudah diingat.
3.      Belajar penemuan sangat diperlukan dalam pemecahan masalah sebab yang diinginkan dalam belajar agar si belajar dapat mendemonstrasikan pengetahuan yang diterima.
4.      Transfer dapat ditingkatkan di mana generalisasi telah ditemukan sendiri oleh si belajar daripada disajikan dalam bentuk jadi.
5.      Penggunaan belajar penemuan mungkin mempunyai pengaruh dalam menciptakan motivasi belajar.
6.      Meningkatkan penalaran si belajar dan kemampuan untuk berfikir secara bebas.

Kelemahan dari Teori Belajar Penemuan (Free Discovery Learning) adalah:
1.      Belajar Penemuan ini memerlukan kecerdasan anak yang tinggi. Bila kurang cerdas, hasilnya kurang efektif.
2.      Teori belajar seperti ini memakan waktu cukup lama dan kalau kurang terpimpin atau kurang terarah dapat menyebabkan kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari.


Implementasi dalam pendidikan di Indonesia
  1. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan.
  2. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep.
  3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
  4. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.
F.     Teori Belajar Bermakna
Teori ini di kemukakan oleh David Ausubel. Menurut Ausubel, belajar dibagi menjadi dua tingkatan yaitu; pada tingkat pertama, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Dalam tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa konsep atau lainnya) yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi, siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya; dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Ausubel menyatakan bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan belajar penerimaan dengan belajar hafalan, sebab mereka berpendapat bahwa belajar bermakna hanya terjadi bila siswa menemukan sendiri pengetahuan. Belajar penerimaan dapat dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep. Sementara itu, belajar penemuan rendah kebermaknaannya dan merupakan belajar hafalan bila memecahkan suatu masalah dilakukan hanya dengan coba-coba, seperti menebak suatu teka-teki. Belajar penemuan yang bermakna sekali hanyalah terjadi pada penelitian yang bersifat ilmiah.
Inti teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Kelemahan teori Ausubel :
1.      Informasi yang dipelajari secara hafalan tidak lama diingat.
2.      Jika peserta didik berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
Kelebihan teori Ausubel :
1.      Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.
2.      Informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan deferensiasi dari subsumer-subsumer, jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
3.      Informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif, meninggalkan efek residual pada subsumer, sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah terjadi “lupa”.
Implementasi dalam pendidikan di Indonesia :
Untuk dapat mengimplementasikan teori Ausubel dalam pendidikan di Indonesia, agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Konsep atau prinsip yang perlu diperhatikan dalam belajar bermakna:
1.      Pengaturan awal
Pengaturan awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan yang dapat dipergunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan baru.
2.      Diferensiasi Progresif
Proses penyusunan konsep dengan cara mengajarkan konsep yang paling inklusif, kemudian konsep kurang inklusif, dan terakhir adalah hal hal yang paling khusus.
3.      Belajar Superordinat
Belajar superordinate terjadi bila konsep konsep yang telah dipelajari sebelumnya.
4.      Penyesuaian Integratif
Untuk mencapai penyesuaian integrative, materi pelajaran hendaknya disusun demikian rupa sehingga kita menggerakkan hierarki hierarki konseptual keatas dan ke bawah selama informasi disajikan.
  
G.    Teori Belajar Gagne
Teori belajar Gagne didasarkan pada pembelajaran yang merupakan faktor sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Hal ini memunculkan pemikiran Gagne bahwa pembelajaran harus dikondisikan untuk memunculkan respons yang diharapkan.
Menurut Gagne penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar disebut kapabilitas. Gagne mengemukakan 5 macam kapabilitas, yaitu informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap dan keterampilan motorik. Keterampilan intelektual menurut Gagne dikelompokkan ke dalam delapan tipe, yaitu: belajar isyarat, belajar stimulus respon, belajar rangkaian gerak, belajar rangkaian verbal, belajar memperbedakan, belajar pembentukan aturan, dan belajar pemecahan masalah. Menurut Gagne sasaran pembelajaran adalah kemampuan. Kemampuan yang dimaksudkan di sini adalah hasil perilaku yang bisa dianalisis. Gagne berpendapat bahwa rangkaian belajar dimulai dari prasyarat yang sederhana yang kemudian meningkat pada kemempuan kompleks.
Didasarkan atas model pemrosesan informasi Gagne mengemukakan bahwa satu tindakan belajar meliputi delapan fase belajar yang merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa atau guru, dan setiap fase ini dipasangkan dengan suatu proses internal yang terjadi dalam pikiran siswa. Didasarkan atas analisis kejadian-kejadian belajar, Gagne menyarankan agar guru memperhatikan delapan kejadian instruksi waktu menyajikan suatu pelajaran pada sekelompok siswa.

Kelemahan teori Gagne :
·            Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), dimana guru bersifat otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.
·            Bersifat meanistik
·            Hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur
·            Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif
Kelebihan teori Gagne :
·            Gagne disebut sebagai modern noebehaviouristik mendorong guru untuk merencanakan pembelajaran agar suasana dan gaya belajar dapat dimodifikasi.
·            Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan kebiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti kecepatan spontanitas kelenturan reflek, dan daya tahan Contoh : Percakapan bahasa Asing, menari, mengetik, olah raga, dll.
·            Cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi hadiah atau pujian.
·            Dapat dikendalikan melalui cara mengganti mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.


Implementasi teori belajar Gagne dalam pendidikan di Indonesia :
Dalam pembelajaran menurut Gagne, peranan guru hendaknya lebih banyak membimbing peserta didik. Guru dominan sekali peranannya dalam membimbing peserta didik. Di dalam mengajar memberikan serentetan kegiatan dengan urutan sebagai berikut :
1)      Membangkitkan dan memelihara perhatian
2)      Merangsang siswa untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan yang relevan sebagai prasyarat
3)      Menyajikan situasi atau pelajaran baru
4)      Memberikan bimbingan belajar
5)      Memberikan Feedback atau balikan
6)      Menilai hasil belajar
7)      Mengupayakan transfer belajar
8)      Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari.
Dalam praktik pembelajaran pada anak, urutan-urutan kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan dapat terjadi sebagian saja atau semuanya.  
  
H.    Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Guthrie berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dapat diubah, tingkah laku baik dapat diubah menjadi buruk dan sebaliknya. Teori Guthrie berdasarkan atas model penggantian stimulus satu ke stimulus yang lain. Respons atas suatu situasi cenderung diulang, bilamana individu menghadapi situasi yang sama. Inilah yang disebut asosiasi.
Menurut Guthrie, stimulus tidak harus berbentuk kebutuhan biologis, karena hubungan antara stimulus dan respons cenderung bersifat sementara. Karena itu, diperlukan pemberian stimulus yang sering, agar hungan itu menjadi lebih langgeng. Suatu respons akan lebih kuat dan menjadi kebiasaan bila respons tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus. Setiap situasi belajar merupakan gabungan berbagai stimulus dan respons. Dalam situasi tertentu, banyak stimulus yang berasosiasi dengan banyak respons. Asosiasi tersebut bisa jadi benar, namun dapat juga salah. Guthrie termasuk mempercayai bahwa hukuman memegang peran penting dalam proses belajar, sebab jika diberikan pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan seseorang.

Kelemahan teori Guthrie :
Beberapa kelemahan pada teori Guthrie yang menjadi sorotan sekaligus sebagai kritikan dalam menjelaskan berbagai prinsip dalam belajar (escape learning dan forgetting). Guthrie melakukan pendekatan dengan prinsip yang sama sehingga psikolog lainnya sulit menemukan posisi Guthrie dalam jajaran ahli psikolog. Muller dan Schoenfeld (1954) juga mengungkapkan bahwa Guthrie kurang menggunakan metodologi eksperimen dalam banyak hal dengan menggunakan alasan/dalil yang ambigu, yakni banyak mengandalkan hasil dari teori belajar tersebut, sehingga teori yang dihasilkan tersebut sulit di aplikasikan dalam fakta pendidikan langsung.
Selain itu juga disampaikan oleh Moore dan Stuard (1979) bahwa percobaan yang dilakukan Guthrie masih diragukan karena menggunkana hewan yakni kucing piaraan dan kucing hias dan lebih menunjukan fakta insting (instinctive) dari hewan tersebut. Jadi Guthrie masih memiliki beberapa kelemahan yang cukup mendasar dalam berbagai penelitiannya. Sedangkan hasil penelitiannya dengan Horton tentang kucing perlu dikembangkan untuk dikaji kembali, dengan menerapkan teori tersebut pada hewan-hewan selain kucing.

Kelebihan teori Guthrie :
Kelebihan dari teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.

Implementasi dalam pendidikan di Indonesia :
Proses pendidikan dimulai dengan menyatakan tujuan, yakni menyatakan respons apa yang harus dibuat untuk stimuli. Lingkungan belajar yang akan memunculkan respons yang diinginkan bersama dengan adanya stimuli yang akan diletakkan padanya. Jadi motivasi dianggap tidak terlalu penting, yang diperlukan adalah siswa mesti merespons dengan tepat dalam kehadiran stimuli tertentu
Seorang guru harus mengarahkan performa siswa, membaca atau mencatat sebagai perangsang siswa untuk menghafal, Dalam hal ini Guru dalam mengelola kelas dianjurkan tidak memerintahkan secara langsung, akan tetapi memberikan stimulus yang berakibat munculnya prilaku sebagai respon dari siswa.
  
I.       Teori Belajar Sibernetik
Teori ini dikemukakan oleh Pask dan scott. Menurut mereka ada dua macam cara berfikir, yaitu cara berfikir serialis dan cara berfikir wholist atau menyeluruh. Pendekatan serialis yang dikemukakannya memiliki kesamaan dengan pendekatan algoritmik. Namun apa yang dikatakan sebagai cara berfikir menyeluruh (wholist) tidak sama dengan cara berfikir heuristik. Bedanya, cara berfikir menyeluruh adalah berfikir yang cenderung melompat kedepan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detail-detail yang diamati lebih dahulu, melainkan seluruh lukisan itu sekaligus baru sesudah itu ke bagian-bagian yang lebih detail. Sedangkan cara berfikir heuristik yang dikemukakan oleh Landa adalah cara berfikir devergen mengarah kebeberapa aspek sekaligus (Budiningsih, 2005: 88).
Siswa tipe wholist atau menyeluruh biasanya dalam mempelajari sesuatu cenderung dilakukan dari tahap yang paling umum kemudian bergerak ke yang lebih khusus atau detail. Sedangkan siswa tipe serialist dalam mempelajari sesuatu cenderung menggunakan cara berfikir secara algoritmik.
Teori sibernetik sebagai teori belajar sering kali dikritik karena tidak secara langsung membahas tentang proses belajar sehingga menyulitkan dalam penerapan. Ulasan teori ini cenderung ke dunia psikologi dan informasi dengan mencoba melihat mekanisme kerja otak. Karena pengetahuan dan pemahaman akan mekanisme ini sangat terbatas maka terbatas pula kemampuan untuk menerapkan teori ini. Teori ini memandang manusia sebagai pengolah infomasi, pemikir, dan pencipta. Berdasarkan pandangan tersebut maka diasumsikan bahwa manusia merupakan mahluk yang mampu mengolah, menyimpan, dan mengorganisasikan informasi.
Asumsi diatas direfleksikan dalam model belajar dan pembelajaran yang menggambarkan proses mental dalam belajar yang terstuktur membentuk suatu sistem kegiatan mental. Dari model ini dikembangkan prinsip-prinsip belajar seperti:
1)      Proses mental dalam belajar terfokus pada pengetahuan yang bermakna.
2)      Proses mental tersebut mampu menyandi informasi secara bermakna.
3)      Proses mental bermuara pada pengorganisasian pengaktulisasian informasi.

Kelebihan strategi pembelajaran yang berpijak pada teori pemrosesan informasi adalah:
1.      Cara berfikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol.
2.      Penyajian pengetahuan memenuhi aspek ekonomis.
3.      Kapabilitas belajar dapat disajikan lebih lengkap.
4.      Adanya keterarahan seluruh kegiatan belajar kepada tujuan yang ingin dicapai.
5.      Adanya transfer belajar pada lingkungan kehidupan yang sesungguhnya.
6.      Kontrol belajar memungkinkan belajar sesuai dengan irama masing-masing individu.
7.      Balikan informatif memberikan rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telah dicapai dibandingkan dengan unjuk kerja yang diharapkan.

Kelemahan dari teori sibernetik :
Teori sibernetik sebagai teori belajar sering kali dikritik karena lebih menekankan pada system informasi yang akan dipelajari, sementara itu bagainama proses belajar berlangsung dalam diri individu sangat ditentukan oleh system informasi yang dipelajari. Teori ini memandang manusia sebagai pengolah informasi, pemikir, dan pencipta (Pask dan Scott, dalam budiningsih, 2005).
Teori aliran ini dikritik karena tidak secara langsung membahas tentang proses belajar sehingga menyulitkan dalam penerapan. Ulasan teori ini cenderung ke dunia psikologi dan informasi dengan mencoba melihat mekanisme kerja otak. Karena pengetahuan dan pemahaman akan mekanisme ini sangat terbatas maka terbatas pula kemampuan untuk menerapkan teori ini.

Implementasi teori sibernetik dalam pendidikan di Indonesia :
Teori belajar pengolahan informasi termasuk dalam lingkup teori kognitif yang mengemukakan bahwa belajar adalah proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung dan merupakan perubahan kemampuan yang terikat pada situasi tertentu. Namun memori kerja manusia mempunyai kapasitas yang terbatas, oleh karena itu untuk mengurangi muatan memori kerja, perlu memperhatikan kapabilitas belajar, peristiwa pembelajaran, dan pengorganisasian atau urutan pembelajaran. Belajar bukan sesuatu yang bersifat alamiah, namun terjadi dengan kondisi-kondisi tertentu, yaitu kondisi internal dan kondisi eksternal. Sehubungan hal tersebut, maka pengelolaan pembelajaran dalam teori belajar sibernetik, menuntut pembelajaran untuk diorganisir dengan baik yang memperhatikan kondisi internal dan kondisi eksternal.

J.      Teori Belajar Konstruktivistik
Teori konstruktivistik dikemukakan oleh Piaget. Teori belajar konstruktivistik mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju kepada kemutakhiran struktur kognitifnya (Budiningsih, 2005: 64). Terdapat dua prinsip pokok konstruktivisme, seperti yang dikemukakan Wheatly (1991) dalam Sadia (2006), yaitu pertama, bahwa pengetahuan tidak diterima secara pasif, tetapi dibangun secara aktif oleh pebelajar (learner). Bahwa ide tidak dapat ditaruh secara utuh kedalam kepala orang lain. Dalam hal ini pebelajar membangun makna bergantung pada struktur kognitif yang telah ada sebelumnya (prior knowledge). Kedua, bahwa fungsi kognitif adalah adaptasi dan melayani dunia pengalaman, bukan menemukan realita ontologi. Selanjutnya, Fosnot (1989) mengemukakan empat prinsip dasar konstruktivisme, yaitu 1) pengetahuan terdiri dari konstruksi-konstruksi masa silam (past construction). Artinya, pengetahuan dibangun dengan menggunakan struktur kognitif yang telah dimiliki, dan struktur kognitif itu terus berkembang secara kontinu melalui proses regulasi diri; 2) pengetahuan dikonstruksi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan pengintegrasian unsur eksternal ke dalam struktur kognitif yang telah ada, sedangkan akomodasi merupakan proses adaptasi struktur kognitif yang telah ada agar sesuai dengan data sensori yang baru diasimilasi; 3) belajar merupakan proses organik dari penemuan. Artinya, belajar harus memperoleh pengalaman berhipotesis, memprediksi, memanipulasi objek, berimajinasi, dan melakukan penemuan dalam upaya membangun struktur kognitifnya; dan 4) belajar memungkinkan terjadinya perkembangan struktur kognitif. Dalam hal ini, belajar bermakna akan terjadi melalui proses refleksi dan resolusi konflik kognitif. (Sadia, 2006).

Kelemahan teori belajar konstruktivistik:
  1. Pembelajar lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut.
  2. Melibatkan secara aktif memecahkan maslah dan menuntut ketarampilan berfikir pebelajar yang lebih tinggi
  3. Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki pembelajar sehingga pembelajaran bermakna.
  4. Pembelajar dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah-masalah yang diseleseikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan pebelajar terhadap bahan yang dipelajari.
  5. Menjadikan pembelajar lebih mandiri dan dewasa mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara pebelajar.
  6. Pengkondisian pebelajar dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajaran dan temuannya sehingga pencapaian kesempatan belajar pembelajar dapat diharapkan.

Kelebihan teori belajar konstruktivistik:
  1. Berfikir  dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
  2. Faham :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
  3. Ingat :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
  4. Kemahiran sosial :Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
  5. Seronok :Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.

Implementasi teori belajar konstruktivistik dalam pendidikan di Indonesia :
Dalam mengimplementasikan pembelajaran konstruktivistik, perlu dicermati tentang reposisi pengajar. Terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh pengajar dalam pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki pemahaman yang baik tentang kerja fisik maupun sosial, memiliki rasa dan kemampuan mengumpulkan dan menganalisis data, memiliki kemampuan membantu pemahaman pebelajar, memiliki kemampuan mempercepat kreativitas sejati pebelajar, dan memiliki kemampuan kerja sama dengan orang lain. Para pengajar diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama dengan pengetahuan yang mereka perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi tantangan dan kemajuan sains dan teknologi. Pengajar tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka perlukan, di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para pengajar diharapkan bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen dan kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis. Para pengajar diharapkan menjadi masyarakat yang memiliki pengetahuan luas dan pemahaman yang mendalam. Di samping penguasaan materi, pengajar juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam.

Tugas : Pembelajaran PKn di SD

Dosen : Dirgantara Wicaksono, M.Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar