A.
Teori
Classical Conditioning
Teori
ini dikembangkan oleh Ivan Pavlov. Pavlov dan kawan-kawan mempelajari proses
pencernaan dalam anjing. Selama penelitian mereka, para ahli ini memperhatikan
perubahan dalam waktu dan kecepatan pengeluaran air liur. Dalam eksperimen ini
Pavlov dan kawan-kawannya menunjukkan bagaimana belajar dapat mempengaruhi
perilaku yang selama ini disangka refleksif dan tidak dapat dikendalikan
seperti pengeluaran air liur.
Pentingnya
studi yang dilakukan oleh Pavlov terletak pada metode yang digunakannnya serta
hasil-hasil yang diperolehnya (Salvin, 1988). Alat-alat yang digunakan dalam
berbagai eksperimen memperlihatkan bagaimana Pavlov dan kawan-kawannya dapat
mengamati secara teliti dan mengukur respons subjek-subjek dalam eksperimen-eksperimen
itu. Penekanan yang diberikan Pavlov pada observasi dan pengukuran yang teliti
dan eksplorasinya secara sistematis tentang berbagai aspek belajar menolong
kemajuan studi ilmiah tentang belajar. Akan tetapi, hanya sedikit penemuan
Pavlov yang diterapkan pada belajar di sekolah.
Ada
beberapa kelemahan dalam teori Classical
Conditioning diantaranya :
1.
Sistem pembelajaran bersifat mekanis.
2.
Menjadikan pengajar sebagai sumber pembelajarannya.
3.
Siswa menjadi pasif.
4.
Hanya disampaikan dalam bentuk materi.
5.
Percobaan dalam laboratorium, berbeda dengan keadaan
yang sebenarnya.
6.
Pribadi seseorang dapat mempengaruhi hasil belajar.
7.
Respon mungkin dipengaruhi oleh stimulus yang tak
dikenal.
8.
Teori ini sangat sederhana dan tidak dapat menjelaskan
secara jelas proses belajar yang komplek dan tidak dapat diamati dalam satu
perspektif saja.
Dari beberapa kelemahan di atas,
terdapat pula kelebihan dalam teori Classical
Conditioning diantaranya :
1. Mementingkan
pengaruh lingkungan, bagian-bagian, peranan reaksi, mengutamakan mekanisme
terbentuknya hasil belajar.
2. Mementingkan
pembentukan kebiasaan dalam pemecahan masalah.
3. Memberi
pengaruh siswa dalam belajar, karena pendidik memberi stimulus sedangkan siswa
akan lebih termotivasi dalam mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya.
4. Terdapat
stimulus tertentu yang mampu menggugah semangat siswa yang semula rendah.
5. Jika siswa
sudah terbiasa melakukan perbuatan yang telah terkondisikan dengan ilmunya
secara kontinyu maka ia dapat dikatakan berhasil dalam belajarnya.
6. Memberikan
ciri perubahan dalam belajar, jika ada suatu tanda signal.
Dari teori
belajar di atas, menurut pendapat saya mengimplementasikan teori belajar
tersebut dalam pendidikan di Indonesia. Ketika kita menginginkan anak-anak
belajar, maka kita harus memberikan rangsangan kepada mereka. Ada dua jenis
rangsangan dalam konteks ini, yaitu rangsangan yang langsung membuat siswa
memberikan respon dan rangsangan yang tidak membuat siswa memberikan respon.
Kita sebut saja rangsangan yang menimbulkan respon langsung adalah nilai, dan
rangsangan yang tidak menimbulkan respon adalah materi pelajaran.
Pada dasarnya
setiap siswa merasa senang apabila mendapatkan nilai yang baik, tetapi mereka
tidak terpengaruh oleh materi pelajaran. Materi pelajaran sendiri bersifat
netral (tidak berpengaruh) pada diri siswa. Yang membuat siswa terpengaruh
adalah nilai yang baik dari guru. Oleh karena itu, agar siswa memberikan respon
pada materi pelajaran (mau mempelajari materi pelajaran), maka harus diberikan
rangsangan lain yaitu nilai yang baik. Dengan kata lain, siswa diberi nilai
baik setelah mempelajari materi pelajaran. dan ini harus dilakukan secara
berulang-ulang. Agar terjadi perubahan yang relatif permanen pada diri siswa,
maka kegiatan (sebagai bentuk pengalaman) harus dilakukan secara
berulang-ulang.
B.
Teori
Koneksionisme
Teori
ini dikemukakan oleh Edward. L. Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan)
dan respons (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Dari
pengertian ini, wujud dari tingkah laku tersebut bisa saja dapat diamati
ataupun tidak dapat diamati. Menurut Thorndike, belajar dapat dilakukan dengan
mencoba-coba (trial and error).
Mencoba-coba dilakukan bila seseorang tidak tahu bagaimana harus memberikan
respons atas sesuatu, kemungkinan akan ditemukan respons yang tepat berkaitan
dengan masalah yang dihadapinya.
Thorndike
mengembangkan hukumnya yang dikenal dengan Hukum Pengaruh (Law of Effect). Hukum Pengaruh Thorndike mengemukakan bahwa jika
suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan,
kemungkinan tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip akan meningkat. Akan
tetapi, bila suatu perilaku diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan
dalam lingkungan, kemungkinan perilaku itu diulangi akan menurun. Jadi,
konsekuensi perilaku seseorang pada suatu waktu memegang peranan penting dalam
menentukan perilaku orang itu selanjutnya.
Kelemahan Teori Thorndike dalam Pembelajaran
- Sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon
- Teori ini tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya
Kelebihan Teori Thorndike dalam Pembelajaran
- Teori ini mengarahkan anak untuk berfikir linier dan konvergen. Belajar merupakan proses pembentukan yaitu membawa anak menuju atau mencapai target tertentu
- Membantu guru dalam menyelesaikan indikator pembelajaran
Implementasi
teori koneksionisme dalam pendidikan di indonesia
1. Memperhatikan
situasi murid
2. Menentukan
respons yang diharapkan dari situasi tersebut
3. Sengaja
menciptakan hubungan antara respons murid dan stimulusnya
4. Ciptakan
hubungan yang menciptakan hubungan nyata
5. Upayakan
suasana belajar yang memungkinkan anak menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
C.
Teori
Operant Conditioning
Teori
ini dikembangkan oleh B.F. Skinner. Menurutnya, suatu respons sesungguhnya juga
menghasilkan sejumlah konsekuensi yang nantinya akan mempengaruhi tingkah laku
manusia. Untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas menurut Skinner perlu
memahami hubungan antara satu stimulus dengan stimulus lainnya, memahami
respons itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respons
tersebut (Bell-Gredler, 1986). Skinner juga mengemukakan bahwa menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan membuat segala sesuatunya menjadi bertambah rumit, sebab alat itu akhirnya
juga harus dijelaskan lagi. Dari hasil percobaannya, Skinner membedakan respons
menjadi 2 yaitu : respons yang timbul dari stimulus tertentu, dan “operant (instrumental) respons”, yang
timbul dan berkembang karena diikuti oleh perangsang tertentu.
Kelemahan
Tanpa
adanya sistem hukuman akan dimungkinkan akan dapat membuat anak didik menjadi
kurang mengerti tentang sebuah kedisiplinan. Hal tersebut akan menyulitkan
lancarnya kegiatan belajar-mengajar. Dengan melaksanakan Mastery Learning (siswa mempelajari materi secara tuntas menurut
waktunya masing-masing, karena setiap siswa berbeda-beda iramanya),
tugas guru akan menjadi semakin berat.
Kelebihan
Pada
teori ini, pendidikan diarahkan untuk menghargai setiap anak didiknya. Hal ini
ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem hukuman. Hal tersebut didukung dengan
adanya pembentukan lingkungan yang baik sehingga dimungkinkan akan meminimalkan
terjadinya kesalahan.
Implementasi
Implementasi
teori Operant conditioining di dalam pendidikan di
Indonesia. Guru dapat
memperkuat perilaku peserta didik yang sesuai dan memberikan hukuman pada
perilaku yang tidak sesuai, dan mereka dapat menggunakan teknik. Generalisasi dan diskriminasi untuk membelajarkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan situasi tertentu. Didalam kelas, guru memperkuat
kemampuan akademik yang bagus dengan sedikit hadiah atau hak-hak tertentu. Guru menggunakan hadiah untuk memperbaiki kehadiran peserta
didik dan dapat
meningkatkan semangat belajarnya.
D.
Teori
Belajar Sosial
Teori
belajar sosial dikembangkan oleh Albert Bandura (1969). Teori ini menerima
sebagian besar prinsip teori balajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak
penekanan pada efek-efek isyarat pada perilaku dan proses mental internal.
Jadi, dalam teori belajar sosial kita akan menggunakan penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan
kognitif internal untuk memahami kegiatan kita belajar dari orang lain. Melalui
observasi tentang dunia sosial kita, melalui interpretasi kognitif dari dunia
itu, banyak sekali informasi dan penampilan keahlian yang kompleks dapat
dipelajari.
Dalam
pandangan belajar sosial, “manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan
dari dalam dan juga tidak “dipukul” oleh stimulus-stimulus lingkungan. Namun,
fungsi psikologi diterangkan sebagai interaksi yang kontinu dan timbal balik
dari determinan pribadi dan determinan lingkungan” (Bandura, 1977: 11-12).
Teori belajar sosial
menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang tidak
random; lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui
perilakunya.
Kelemahan
Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat
sesuai jika diklasifikasikan dalam teori behavioristik. Ini karena, teknik
pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan tingkah laku dan adakalanya
cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam mendalami sesuatu yang
ditiru. Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya
dengan hanya melalui peniruan ( modeling ), sudah pasti terdapat sebagian
individu yang menggunakan teknik peniruan ini juga akan meniru tingkah laku
yang negative , termasuk perlakuan yang tidak diterima dalam masyarakat.
Kelebihan
Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya ,
karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan
melalui system kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia
bukan semata – mata reflex atas stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat
reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia
itu sendiri. Pendekatan teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya
conditioning ( pembiasan merespon ) dan imitation ( peniruan ). Selain itu
pendekatan belajar social menekankan pentingnya penelitian empiris dalam
mempelajari perkembangan anak – anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang
menjelaskan perkembangan anak – anak, faktor social dan kognitif.
Implementasi
dalam pendidikan di Indonesia
Seorang guru harus dapat menghadirkan model pembelajaran yang baik. Model
yang baik harus dapat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar sehingga
dapat memberi perhatian kepada si pembelajar. Model disini tidak harus dari
guru, namun tergantung apa yang akan diajarkan. Teori belajar sosial ini cocok
untuk mengajarkan materi yang berupa aspek psikomotorik dan afektif, karena
pembelajar langsung dapat memperhatikan, mengingat, dan meniru dari model yang
dihadirkan.
E.
Teori
Belajar Penemuan
Teori
ini dikemukakan oleh Jerome Bruner (1960). Teori ini menjelaskan bahwa proses
belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan
kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi,
dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang
menjadi sumbernya. Siswa dibimbing secara indiktif untuk mengetahui kebenaran
umum. Misalnya, untuk pertama kali memahami konsep “kedisiplinan”, siswa tidak
harus menghafal definisi kata tersebut, tetapi mempelajari contoh-contoh
konkret tentang perilaku yang menunjukkan kedisiplinan dan yang tidak, dari
contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata kedisiplinan. Kebalikan
dari pendekatan ini disebut “belajar ekspositori” (belajar dengan cara
menjelaskan). Siswa diberikan suatu informasi umum dan diminta untuk mencari
contoh-contoh khusus dan konkret yang dapat menggambarkan makna dari informasi
tersebut, proses belajar ini berjalan secara deduktif.
Kelebihan
dari Teori Belajar Penemuan (Free Dicovery Learning) adalah :
1. Belajar
penemuan dapat digunakan untuk menguji apakah belajar sudah bermakna.
2. Pengetahuan
yang diperoleh si belajar akan tertinggal lama dan mudah diingat.
3. Belajar
penemuan sangat diperlukan dalam pemecahan masalah sebab yang diinginkan dalam
belajar agar si belajar dapat mendemonstrasikan pengetahuan yang diterima.
4. Transfer
dapat ditingkatkan di mana generalisasi telah ditemukan sendiri oleh si belajar
daripada disajikan dalam bentuk jadi.
5. Penggunaan
belajar penemuan mungkin mempunyai pengaruh dalam menciptakan motivasi belajar.
6. Meningkatkan
penalaran si belajar dan kemampuan untuk berfikir secara bebas.
Kelemahan
dari Teori Belajar Penemuan (Free Discovery Learning) adalah:
1. Belajar
Penemuan ini memerlukan kecerdasan anak yang tinggi. Bila kurang cerdas,
hasilnya kurang efektif.
2. Teori
belajar seperti ini memakan waktu cukup lama dan kalau kurang terpimpin atau
kurang terarah dapat menyebabkan kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari.
Implementasi
dalam pendidikan di Indonesia
- Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan.
- Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep.
- Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
- Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.
F. Teori Belajar Bermakna
Teori ini di
kemukakan oleh David Ausubel. Menurut Ausubel, belajar dibagi menjadi dua
tingkatan yaitu; pada tingkat pertama, informasi dapat dikomunikasikan pada
siswa dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam
bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa
untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Dalam
tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada
pengetahuan (berupa konsep atau lainnya) yang telah dimilikinya; dalam hal ini
terjadi belajar bermakna. Akan
tetapi, siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu
tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur
kognitifnya; dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Ausubel menyatakan bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan
belajar penerimaan dengan belajar hafalan, sebab mereka berpendapat bahwa
belajar bermakna hanya terjadi bila siswa menemukan sendiri pengetahuan.
Belajar penerimaan dapat dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan
hubungan antara konsep-konsep. Sementara itu, belajar penemuan rendah kebermaknaannya
dan merupakan belajar hafalan bila memecahkan suatu masalah dilakukan hanya
dengan coba-coba, seperti menebak suatu teka-teki. Belajar penemuan yang
bermakna sekali hanyalah terjadi pada penelitian yang bersifat ilmiah.
Inti teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna.
Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi
baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang.
Kelemahan
teori Ausubel :
1. Informasi
yang dipelajari secara hafalan tidak lama diingat.
2. Jika
peserta didik berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang
satu dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya maka baik proses maupun hasil
pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama
sekali baginya.
Kelebihan
teori Ausubel :
1. Informasi
yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.
2. Informasi
yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan deferensiasi dari subsumer-subsumer,
jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
3. Informasi
yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif, meninggalkan efek residual pada
subsumer, sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah
terjadi “lupa”.
Implementasi
dalam pendidikan di Indonesia :
Untuk dapat mengimplementasikan teori Ausubel dalam
pendidikan di Indonesia, agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau
informasi baru harus dikaitkan dengan konsep konsep yang telah ada dalam struktur
kognitif siswa. Konsep atau prinsip yang perlu diperhatikan dalam belajar
bermakna:
1. Pengaturan
awal
Pengaturan awal mengarahkan para
siswa ke materi yang akan mereka pelajari dan menolong mereka untuk mengingat
kembali informasi yang berhubungan yang dapat dipergunakan dalam membantu
menanamkan pengetahuan baru.
2. Diferensiasi
Progresif
Proses penyusunan konsep dengan cara
mengajarkan konsep yang paling inklusif, kemudian konsep kurang inklusif, dan
terakhir adalah hal hal yang paling khusus.
3. Belajar
Superordinat
Belajar superordinate terjadi bila konsep
konsep yang telah dipelajari sebelumnya.
4. Penyesuaian
Integratif
Untuk mencapai penyesuaian
integrative, materi pelajaran hendaknya disusun demikian rupa sehingga kita
menggerakkan hierarki hierarki konseptual keatas dan ke bawah selama informasi
disajikan.
G. Teori Belajar Gagne
Teori
belajar Gagne didasarkan pada pembelajaran yang merupakan faktor sangat penting
dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran.
Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi,
untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil
belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara
kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi
internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil
belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam
proses pembelajaran. Hal ini memunculkan pemikiran Gagne bahwa pembelajaran
harus dikondisikan untuk memunculkan respons yang diharapkan.
Menurut Gagne penampilan-penampilan
yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar disebut kapabilitas. Gagne
mengemukakan 5 macam kapabilitas, yaitu informasi verbal, keterampilan
intelektual, strategi kognitif, sikap dan keterampilan motorik. Keterampilan
intelektual menurut Gagne dikelompokkan ke dalam delapan tipe, yaitu: belajar
isyarat, belajar stimulus respon, belajar rangkaian gerak, belajar rangkaian
verbal, belajar memperbedakan, belajar pembentukan aturan, dan belajar
pemecahan masalah. Menurut Gagne sasaran pembelajaran adalah kemampuan.
Kemampuan yang dimaksudkan di sini adalah hasil perilaku yang bisa dianalisis.
Gagne berpendapat bahwa rangkaian belajar dimulai dari prasyarat yang sederhana
yang kemudian meningkat pada kemempuan kompleks.
Didasarkan atas model pemrosesan
informasi Gagne mengemukakan bahwa satu tindakan belajar meliputi delapan fase
belajar yang merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distrukturkan
oleh siswa atau guru, dan setiap fase ini dipasangkan dengan suatu proses
internal yang terjadi dalam pikiran siswa. Didasarkan atas analisis
kejadian-kejadian belajar, Gagne menyarankan agar guru memperhatikan delapan
kejadian instruksi waktu menyajikan suatu pelajaran pada sekelompok siswa.
Kelemahan teori Gagne :
·
Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher
centered learning), dimana guru bersifat otoriter, komunikasi berlangsung satu
arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.
·
Bersifat meanistik
·
Hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur
·
Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru
dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang
efektif
Kelebihan teori Gagne :
·
Gagne disebut sebagai modern noebehaviouristik
mendorong guru untuk merencanakan pembelajaran agar suasana dan gaya belajar
dapat dimodifikasi.
·
Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang
membutuhkan praktek dan kebiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti kecepatan
spontanitas kelenturan reflek, dan daya tahan Contoh : Percakapan bahasa Asing,
menari, mengetik, olah raga, dll.
·
Cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan,
suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi
hadiah atau pujian.
·
Dapat dikendalikan melalui cara mengganti mengganti
stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon
yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh
stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Implementasi teori belajar Gagne dalam pendidikan di
Indonesia :
Dalam pembelajaran
menurut Gagne, peranan guru hendaknya lebih banyak membimbing peserta didik.
Guru dominan sekali peranannya dalam membimbing peserta didik. Di dalam
mengajar memberikan serentetan kegiatan dengan urutan sebagai berikut :
1)
Membangkitkan dan memelihara perhatian
2)
Merangsang siswa untuk mengingat kembali
konsep, aturan dan keterampilan yang relevan sebagai prasyarat
3)
Menyajikan situasi atau pelajaran baru
4)
Memberikan bimbingan belajar
5)
Memberikan Feedback atau balikan
6)
Menilai hasil belajar
7)
Mengupayakan transfer belajar
8)
Memantapkan apa yang dipelajari dengan
memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari.
Dalam praktik pembelajaran pada anak,
urutan-urutan kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan dapat terjadi sebagian
saja atau semuanya.
H. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Guthrie berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dapat diubah, tingkah
laku baik dapat diubah menjadi buruk dan sebaliknya. Teori Guthrie berdasarkan
atas model penggantian stimulus satu ke stimulus yang lain. Respons atas suatu
situasi cenderung diulang, bilamana individu menghadapi situasi yang sama.
Inilah yang disebut asosiasi.
Menurut Guthrie, stimulus tidak
harus berbentuk kebutuhan biologis, karena hubungan antara stimulus dan respons
cenderung bersifat sementara. Karena itu, diperlukan pemberian stimulus yang
sering, agar hungan itu menjadi lebih langgeng. Suatu respons akan lebih kuat
dan menjadi kebiasaan bila respons tersebut berhubungan dengan berbagai macam
stimulus. Setiap situasi belajar merupakan gabungan berbagai stimulus dan respons.
Dalam situasi tertentu, banyak stimulus yang berasosiasi dengan banyak respons.
Asosiasi tersebut bisa jadi benar, namun dapat juga salah. Guthrie termasuk
mempercayai bahwa hukuman memegang peran penting dalam proses belajar, sebab
jika diberikan pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan seseorang.
Kelemahan teori Guthrie :
Beberapa
kelemahan pada teori Guthrie yang menjadi sorotan sekaligus sebagai kritikan
dalam menjelaskan berbagai prinsip dalam belajar (escape learning dan
forgetting). Guthrie melakukan pendekatan dengan prinsip yang sama sehingga
psikolog lainnya sulit menemukan posisi Guthrie dalam jajaran ahli psikolog. Muller
dan Schoenfeld (1954) juga mengungkapkan bahwa Guthrie kurang menggunakan
metodologi eksperimen dalam banyak hal dengan menggunakan alasan/dalil yang
ambigu, yakni banyak mengandalkan hasil dari teori belajar tersebut, sehingga
teori yang dihasilkan tersebut sulit di aplikasikan dalam fakta pendidikan
langsung.
Selain
itu juga disampaikan oleh Moore dan Stuard (1979) bahwa percobaan yang
dilakukan Guthrie masih diragukan karena menggunkana hewan yakni kucing piaraan
dan kucing hias dan lebih menunjukan fakta insting (instinctive) dari hewan
tersebut. Jadi Guthrie masih memiliki beberapa kelemahan yang cukup mendasar dalam
berbagai penelitiannya. Sedangkan hasil penelitiannya dengan Horton tentang
kucing perlu dikembangkan untuk dikaji kembali, dengan menerapkan teori
tersebut pada hewan-hewan selain kucing.
Kelebihan teori Guthrie :
Kelebihan
dari teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen,
tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan
proses pembentukan atau shapping yaitu membawa siswa menuju atau mencapai
target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi
dan berimajinasi.
Implementasi dalam pendidikan di Indonesia :
Proses
pendidikan dimulai dengan menyatakan tujuan, yakni menyatakan respons apa yang
harus dibuat untuk stimuli. Lingkungan belajar yang akan memunculkan respons
yang diinginkan bersama dengan adanya stimuli yang akan diletakkan padanya.
Jadi motivasi dianggap tidak terlalu penting, yang diperlukan adalah siswa
mesti merespons dengan tepat dalam kehadiran stimuli tertentu
Seorang guru harus
mengarahkan performa siswa, membaca atau mencatat sebagai perangsang siswa
untuk menghafal, Dalam hal ini Guru dalam mengelola kelas dianjurkan tidak
memerintahkan secara langsung, akan tetapi memberikan stimulus yang berakibat
munculnya prilaku sebagai respon dari siswa.
I.
Teori
Belajar Sibernetik
Teori ini
dikemukakan oleh Pask dan scott. Menurut mereka ada dua macam cara berfikir,
yaitu cara berfikir serialis dan cara berfikir wholist atau menyeluruh.
Pendekatan serialis yang dikemukakannya memiliki kesamaan dengan pendekatan
algoritmik. Namun apa yang dikatakan sebagai cara berfikir menyeluruh (wholist)
tidak sama dengan cara berfikir heuristik. Bedanya, cara berfikir menyeluruh
adalah berfikir yang cenderung melompat kedepan, langsung ke gambaran lengkap
sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detail-detail yang
diamati lebih dahulu, melainkan seluruh lukisan itu sekaligus baru sesudah itu
ke bagian-bagian yang lebih detail. Sedangkan cara berfikir heuristik yang
dikemukakan oleh Landa adalah cara berfikir devergen mengarah kebeberapa aspek
sekaligus (Budiningsih, 2005: 88).
Siswa tipe wholist atau
menyeluruh biasanya dalam mempelajari sesuatu cenderung dilakukan dari tahap
yang paling umum kemudian bergerak ke yang lebih khusus atau detail. Sedangkan
siswa tipe serialist dalam mempelajari sesuatu cenderung menggunakan
cara berfikir secara algoritmik.
Teori sibernetik sebagai teori
belajar sering kali dikritik karena tidak secara langsung membahas tentang
proses belajar sehingga menyulitkan dalam penerapan. Ulasan teori ini cenderung
ke dunia psikologi dan informasi dengan mencoba melihat mekanisme kerja otak.
Karena pengetahuan dan pemahaman akan mekanisme ini sangat terbatas maka
terbatas pula kemampuan untuk menerapkan teori ini. Teori ini memandang manusia
sebagai pengolah infomasi, pemikir, dan pencipta. Berdasarkan pandangan
tersebut maka diasumsikan bahwa manusia merupakan mahluk yang mampu mengolah,
menyimpan, dan mengorganisasikan informasi.
Asumsi diatas direfleksikan dalam
model belajar dan pembelajaran yang menggambarkan proses mental dalam belajar
yang terstuktur membentuk suatu sistem kegiatan mental. Dari model ini
dikembangkan prinsip-prinsip belajar seperti:
1) Proses
mental dalam belajar terfokus pada pengetahuan yang bermakna.
2) Proses
mental tersebut mampu menyandi informasi secara bermakna.
3) Proses
mental bermuara pada pengorganisasian pengaktulisasian informasi.
Kelebihan strategi pembelajaran yang
berpijak pada teori pemrosesan informasi adalah:
1. Cara
berfikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol.
2. Penyajian
pengetahuan memenuhi aspek ekonomis.
3. Kapabilitas
belajar dapat disajikan lebih lengkap.
4. Adanya
keterarahan seluruh kegiatan belajar kepada tujuan yang ingin dicapai.
5. Adanya
transfer belajar pada lingkungan kehidupan yang sesungguhnya.
6. Kontrol
belajar memungkinkan belajar sesuai dengan irama masing-masing individu.
7. Balikan
informatif memberikan rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telah
dicapai dibandingkan dengan unjuk kerja yang diharapkan.
Kelemahan dari teori sibernetik :
Teori
sibernetik sebagai teori belajar sering kali dikritik karena lebih menekankan
pada system informasi yang akan dipelajari, sementara itu bagainama proses
belajar berlangsung dalam diri individu sangat ditentukan oleh system
informasi yang dipelajari. Teori ini memandang manusia sebagai pengolah
informasi, pemikir, dan pencipta (Pask dan Scott, dalam budiningsih, 2005).
Teori aliran ini dikritik karena
tidak secara langsung membahas tentang proses belajar sehingga menyulitkan
dalam penerapan. Ulasan teori ini cenderung ke dunia psikologi dan informasi
dengan mencoba melihat mekanisme kerja otak. Karena pengetahuan dan pemahaman
akan mekanisme ini sangat terbatas maka terbatas pula kemampuan untuk
menerapkan teori ini.
Implementasi
teori sibernetik dalam pendidikan di Indonesia :
Teori
belajar pengolahan informasi termasuk dalam lingkup teori kognitif yang
mengemukakan bahwa belajar adalah proses internal yang tidak dapat diamati
secara langsung dan merupakan perubahan kemampuan yang terikat pada situasi
tertentu. Namun memori kerja manusia mempunyai kapasitas yang terbatas, oleh
karena itu untuk mengurangi muatan memori kerja, perlu memperhatikan kapabilitas
belajar, peristiwa pembelajaran, dan pengorganisasian atau urutan pembelajaran.
Belajar bukan sesuatu yang bersifat alamiah, namun terjadi dengan
kondisi-kondisi tertentu, yaitu kondisi internal dan kondisi eksternal.
Sehubungan hal tersebut, maka pengelolaan pembelajaran dalam teori belajar
sibernetik, menuntut pembelajaran untuk diorganisir dengan baik yang
memperhatikan kondisi internal dan kondisi eksternal.
J.
Teori
Belajar Konstruktivistik
Teori
konstruktivistik dikemukakan oleh Piaget. Teori belajar konstruktivistik
mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan
struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa
kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk
suatu konstruksi pengetahuan yang menuju kepada kemutakhiran struktur
kognitifnya (Budiningsih, 2005: 64). Terdapat dua prinsip pokok
konstruktivisme, seperti yang dikemukakan Wheatly (1991) dalam Sadia (2006),
yaitu pertama, bahwa pengetahuan tidak diterima secara pasif, tetapi dibangun
secara aktif oleh pebelajar (learner).
Bahwa ide tidak dapat ditaruh secara utuh kedalam kepala orang lain. Dalam hal
ini pebelajar membangun makna bergantung pada struktur kognitif yang telah ada
sebelumnya (prior knowledge). Kedua,
bahwa fungsi kognitif adalah adaptasi dan melayani dunia pengalaman, bukan
menemukan realita ontologi. Selanjutnya, Fosnot (1989) mengemukakan empat
prinsip dasar konstruktivisme, yaitu 1) pengetahuan terdiri dari
konstruksi-konstruksi masa silam (past
construction). Artinya, pengetahuan dibangun dengan menggunakan struktur
kognitif yang telah dimiliki, dan struktur kognitif itu terus berkembang secara
kontinu melalui proses regulasi diri; 2) pengetahuan dikonstruksi melalui
proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan pengintegrasian unsur
eksternal ke dalam struktur kognitif yang telah ada, sedangkan akomodasi
merupakan proses adaptasi struktur kognitif yang telah ada agar sesuai dengan
data sensori yang baru diasimilasi; 3) belajar merupakan proses organik dari
penemuan. Artinya, belajar harus memperoleh pengalaman berhipotesis,
memprediksi, memanipulasi objek, berimajinasi, dan melakukan penemuan dalam upaya
membangun struktur kognitifnya; dan 4) belajar memungkinkan terjadinya
perkembangan struktur kognitif. Dalam hal ini, belajar bermakna akan terjadi
melalui proses refleksi dan resolusi konflik kognitif. (Sadia, 2006).
Kelemahan
teori belajar konstruktivistik:
- Pembelajar lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut.
- Melibatkan secara aktif memecahkan maslah dan menuntut ketarampilan berfikir pebelajar yang lebih tinggi
- Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki pembelajar sehingga pembelajaran bermakna.
- Pembelajar dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah-masalah yang diseleseikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan pebelajar terhadap bahan yang dipelajari.
- Menjadikan pembelajar lebih mandiri dan dewasa mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara pebelajar.
- Pengkondisian pebelajar dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajaran dan temuannya sehingga pencapaian kesempatan belajar pembelajar dapat diharapkan.
Kelebihan
teori belajar konstruktivistik:
- Berfikir dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
- Faham :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
- Ingat :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
- Kemahiran sosial :Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
- Seronok :Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
Implementasi
teori belajar konstruktivistik dalam pendidikan di Indonesia :
Dalam
mengimplementasikan pembelajaran konstruktivistik, perlu dicermati tentang
reposisi pengajar. Terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh
pengajar dalam pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki
pemahaman yang baik tentang kerja fisik maupun sosial, memiliki rasa dan
kemampuan mengumpulkan dan menganalisis data, memiliki kemampuan membantu
pemahaman pebelajar, memiliki kemampuan mempercepat kreativitas sejati
pebelajar, dan memiliki kemampuan kerja sama dengan orang lain. Para pengajar
diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama dengan pengetahuan yang mereka
perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi tantangan dan kemajuan
sains dan teknologi. Pengajar tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan,
tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka
perlukan, di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para pengajar
diharapkan bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen
dan kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan
pertimbangan-pertimbangan kritis. Para pengajar diharapkan menjadi masyarakat
yang memiliki pengetahuan luas dan pemahaman yang mendalam. Di samping
penguasaan materi, pengajar juga dituntut memiliki keragaman model atau
strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat
digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam.
Tugas : Pembelajaran PKn di SD
Dosen : Dirgantara Wicaksono, M.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar